My Family

My Family
Palembang, Mei 2013

Kamis, 27 Mei 2010

Continence Care for Obese Nursing Home Residents

Christine Bradway; Elizabeth Miller; Amy Heivly; Irene Fleshner

Abstract

Purpose Specific aims of this study were to describe 1) demographic characteristics and co-morbid conditions of obese nursing home residents, 2) current nursing care practices related to continence care in obese nursing home residents, 3) licensed and unlicensed nursing caregivers' reports of continence care issues they experience with obese nursing home residents, and 4) continence care issues reported by obese nursing home residents.
Methods This exploratory, descriptive study used a mixed-method design, including medical record review, case-intensive elicitation interviews of licensed and unlicensed nursing staff caring for obese nursing home residents, case-intensive elicitation interviews of obese nursing home residents, and direct observation of care between licensed and unlicensed nursing staff and obese nursing home residents.
Data Analysis Descriptive statistics were used to analyze medical record data and describe the study sample. Interview, observational data, and investigator memos and field notes were analyzed using content analysis.
Findings The five nursing home residents who participated in the study had a mean age of 65 years, a mean weight of 323 pounds, and a mean body mass index of 53. Three of the five residents were dually incontinent (urinary and fecal incontinence), two residents were continent, and all five required special equipment for nursing care. Eight licensed and unlicensed nursing staff participated in the study. Three primary themes emerged from interview and observational data with regard to continence care: "obese and incontinent day to day," "fitting in the environment," and "it's rough…but we want to do it."

Sumber: Published by: Urol Nurs. 2010;30(2):121-129.

Senin, 24 Mei 2010

Sifat Pemalu Bisa Bikin Panjang Umur


Oleh: AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Beruntunglah jika memiliki sifat pemalu. Sebuah studi mengungkap hubungan antara kepribadian dengan sistem metabolisme, yang menyebabkan sifat pemalu bisa hidup lebih lama.

Ilmuwan Vincent Careau PhD dari University of Sherbrooke mencoba melihat hubungan antara kepribadian dengan berbagai aspek biologis pada anjing. Ujicoba terhadap binatang bisa jadi acuan manusia bagaimana binatang bisa panjang umur karena sifatnya.

Dikutip dari Topnews, Senin (24/5/2010), ilmuwan menggunakan data yang diperoleh dengan membandingkan berbagai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Dalam menangkarkan ras anjing, tanpa sadar manusia telah melakukan eksperimen tentang kepribadian. Pemilihan ras untuk ditangkarkan tidak hanya didasarkan pada penampilan fisik, melainkan sifat-sifat anjing termasuk apakah anjing tersebut galak atau tidak.

Sebagai hasil dari penangkaran tersebut, beberapa ras anjing punya tipe kepriabadiannya sendiri misalnya galak, penurut, punya naluri bertarung, dan lain sebagainya. Faktor lain lain seperti umur dan kebutuhan energi tentu saja tidak diperhitungkan saat menangkarkan.

Hasil yang didapatkan menunjukkan hubungan yang cukup signifikan. Ras anjing yang memiliki sifat penurut dapat hidup lebih lama dibanding anjing nakal. Demikian juga anjing yang agresif atau galak, ternyata memiliki konsumsi energi lebih banyak yang membuatnya lebih cepat mati.

"Sulit dibayangkan, kepribadian yang agresif jika tidak diimbangi kecukupan energi dan sistem metabolisme tidak akan bertahan hidup lebih lama," ungkap Careau.

Sifat-sifat anjing itu ada pada sifat manusia. Orang-orang yang penurut misalnya tidak akan mengeluarkan energi berlebihan dibanding orang agresif yang biasanya gampang stres.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal The American Naturalist ini dinilai berhasil mengungkap hubungan berbagai aspek krusial terkait umur binatang.

Penelitian berikutnya diharapkan dapat mengungkap tipe kepribadian yang lain dan pengaruhnya bagi usia harapan hidup.

Jumat, 21 Mei 2010

Sindrom Karpal Tunnel


Sumber: Kompas, Jum'at 20 Mei 2010

Insiden dari sindrom Karpal Tunnel ini sebenarnya bisa terjadi hingga sekitar 1-3 kasus per 1.000 individu per tahunnya. Dengan prevalensi sekitar 50 kasus per 1000 penduduk pada populasi penduduk umum. Insiden ini bisa meningkat sekitar 150 kasus per 1000 individu per tahun dengan tingkat prevalensi lebih dari 500 kasus per 1000 individu pada kelompok tertentu yang memiliki risiko tinggi terjadinya sindrom ini.
Banyak pasien mengeluhkan terjadinya barang jatuh dengan sendirinya atau ketidakmampuan untuk menggenggam barang hingga mereka sadar ada sesuatu yang tak beres pada pergelangan tangan atau tangan mereka. Seringkali gejala ini tidak terjadi terus menerus, tetapi sesekali atau bisa hilang timbul dan biasanya dikaitkan dengan adanya aktivitas tertentu seperti menyetir, membaca koran, melukis dan lainnya. Sindrom ini dapat terjadi pada kedua tangan meskipun lebih sering didapatkan pada tangan yang dominan digunakan. Sindrom Karpal Tunnel ini tidak bisa dibilang mematikan, tapi bisa menyebabkan suatu kerusakan permanen dari saraf median dengan konsekuensi adanya kerusakan fungsi yang berat jika tidak diatasi dengan baik. Umumnya sindrom ini terjadi pada usia sekitar 45-60 tahun dan hanya 10 persen yang terdapat pada individu berusia dibawah 31 tahun. Penyebab dari sindrom ini biasanya dikaitkan dengan banyak faktor. Tak dapat dipungkiri, peningkatan usia dan faktor genetik juga berperan dalam terjadinya sindrom ini. Selain kondisi genetik dari keluarga yang mempunyai kelainan ini, beberapa kondisi medis lain yang diderita oleh seorang individu juga bisa menyebabkan adanya sindrom ini seperti diabetes, penyakit tiroid, neuropati. Kondisi tertentu dari obesitas dan kehamilan pun bisa menyebabkannya. Banyak individu mengalami sindrom ini karena sering melakukan suatu gerakan berulang dengan terus menerus seperti mengetik atau memegang mouse komputer dan mengklik berulang. Tak jarang pula kecelakaan saat berolahraga juga bisa menyebabkan terjadinya sindrom ini. Untuk membantu pengurangan gejala yang terjadi berikut ada beberapa tips yang mungkin bisa dilakukan di rumah, ketika Anda merasakan baal atau nyeri saat sedang melakukan aktivitas, istirahatkanlah sejenak tangan atau pergelangan tangan Anda cukup lama, dinginkan pergelangan tangan Anda sekitar 10 hingga 15 menit sebanyak 1 sampai 2 kali dalam waktu 1 jam. Pakailah wrist band yang bisa mencegah terjadinya cedera pada pergelangan tangan Anda dan bisa membantu pergelangan tangan Anda agar terus berada dalam posisi yang netral dan tidak menambah beban dari saraf median Anda.

Sabtu, 01 Mei 2010

28 Juta Orang Indonesia Terkena Insomnia


Oleh: Vera Farah Bararah - DetikHealth

Sulit tidur, sering terbangun di malam hari dan sulit tidur lagi, bangun dini hari serta tidak segar saat bangun pagi adalah gejala yang dialami penderita insomnia. Kondisi itu dialami 28 juta orang Indonesia. Apakah Anda salah satunya?

Data tersebut berdasarkan riset internasional yang dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004 seperti dilansir daricureresearch, Sabtu (1/5/2010).

Ketika penduduk Indonesia tahun 2004 berjumlah 238,452 juta ada sebanyak 28,053 juta orang Indonesia yang terkena insomnia atau sekitar 11,7%. Data ini hanya berdasarkan indikasi secara umum tidak memperhitungkan faktor genetik, budaya, lingkungan, sosial, ras. Jumlah ini bisa terus bertambah seiring dengan perubahan gaya hidup.

Data tersebut diamini oleh DR dr Nurmiati Amir, SpKJ(K) yang mengakui memang sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia mengalami kesulitan tidur. Ukuran normal untuk orang dewasa tidur adalah 6-7 jam. Tapi penderita insomnia kebanyakan tidur hanya 3-4 jam saja.

"Insomnia adalah salah satu kondisi medik yang sering ditemui namun tidak terdiagnosis sehingga tidak terobati dengan baik," kata DR Nurmiati dalam acara konferensi pers Tatalaksana Komprehensif Insomnia di hotel Novotel Mangga Dua Square, Jakarta, Sabtu (1/5/2010).

Padahal lanjut DR Nurmiati, jika kondisi ini terus saja dibiarkan dapat menurunkan kualitas hidupnya hingga berdampak memicu kecelakaan. Maka itu dibutuhkan terapi perilaku dan obat untuk menangani insomnia.

DR Nurmiati menambahkan ada tiga tipe dari insomnia, yaitu:

1. Insomnia transien, yaitu kesulitan tidur yang berlangsung kurang dari seminggu dan disebabkan oleh stres akut, perubahan jam kerja atau jet lag.

2. Insomnia jangka pendek, yaitu kesulitan tidur yang berlangsung selama 1-4 minggu dan disebabkan oleh stres terus menerus, penyakit akut atau obat-obatan tertentu.

3. Insomnia kronik, yaitu kesulitan tidur yang berlangsung lebih dari sebulan dan disebabkan oleh adanya gangguan kimia otak atau hormon serta gangguan psikiatri.

Dampak yang bisa ditimbulkan dari insomnia:

1. Keletihan

2. Meningkatkan risiko kecelakaan

3. Kurangnya produktivitas

4. Terganggunya hubungan sosial karena orang yang insomnia menjadi mudah tersinggung

5. Penurunan kesehatan fisik.

Diagnosa insomnia

Untuk mendiagnosis seseorang terkena insomnia atau tidak adalah menilai pasien secara lengkap baik fisik maupun psikologik. Pemeriksaan fisik meliputi tekanan darah, rematoid artritis, gangguan hormon, kolesterol, kadar gula dan lainnya. Sedangkan pemeriksaan psikologik meliputi depresi, kecemasan, gangguan kepribadian atau lainnya.

"Penyakit fisik atau psikologis yang mendasari insomnia harus diobati terlebih dahulu. Selanjutnya terapi farmakologi, misalnya memberikan obat-obatan yang aman dan efektif serta terapi non-farmakologi seperti cognitive behavioural theraphy (CBT)," ujar dokter dari staf psikiatri RSCM ini.

DR Nurmiati menuturkan terapi non-farmakologi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas tidur adalah:

1. Usahakan untuk bangun pagi secara teratur.

2. Pergi tidur saat sudah mengantuk.

3. Mengurangi tidur siang agar tidak mengganggu tidur malam.

4. Mempersiapkan tidur dengan lebih baik.

5. Menghindari stres emosi dan pekerjaan di tempat tidur.

6. Melakukan latihan relaksasi.


Obat dan psikoterapi diperlukan agar lebih memahami pasien sehingga proses penyembuhan bisa terjadi. Karenanya kombinasi antara farmakologi dengan CBT akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya farmakologi atau CBT saja