Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo
Pernikahan merupakan pengalaman hidup yang sangat penting sebagai media penyatuan fisik dan psikis antara dua insan dan penggabungan kedua keluarga besar dalam rangka ibadah melaksanakan perintah Allah SWT. Hal itu tentunya memerlukan berbagai persiapan terkait yang cukup matang termasuk persiapan fisik sebelum menikah adalah tidak kalah pentingnya dengan kesiapan materi, sosio-kultural, mental dan hukum. Tes kesehatan dan fertilitas yang disarankan kalangan medis serta para penganjur dan konsultan pernikahan sebenarnya merupakan salah satu bentuk persiapan pranikah yang secara eksplisit maupun implisit disunnahkan dalam Islam
Bahkan, sekalipun tidak ada riwayat dan indikasi penyakit ataupun kelainan keturunan di dalam keluarga, berdasarkan prinsip syariah tetap dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan standar termasuk meliputi tes darah dan urine. Hal itu karena prinsip sentral syariah Islam menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in (vol.III/14) adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan, kerahmatan, kemudahan, keamanan, keselamatan, kesejahteraan dan kebijaksanaan yang merata. Apa saja yang bertentangan dengan prinsip tersebut maka hal otomatis dilarang syariah, namun sebaliknya segala hal yang dapat mewujudkan prinsip tersebut secara integral pasti dianjurkan syariah.
Tujuan utama ketentuan syariat (maqashid as-syariah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup ‘panca maslahat’ dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz nasl) dan harta benda mereka (hifz mal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syariah dan segala yang membahayakannya dikategorikan sebagai mudharat atau mafsadah yang harus disingkirkan sebisa mungkin sebagaimana kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, (vol.I/139-140) yang dijabarkan oleh Imam Asy-ysathibi dalam kitab Al-Muwafaqat.
Bila ditinjau secara psikologis, sebenarnya pemeriksaan itu akan dapat membantu menyiapkan mental pasangan. Sedangkan secara medis, pemeriksaan itu sebagai ikhtiar (usaha) yang bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari sehingga dapat menjadi langkah antisipasi dan tindakan preventif yang dilakukan jauh-jauh hari untuk menghindarkan penyesalan dan penderitaan rumah tangga.
Para ahli abstetri (ilmu kebidanan) dan ginekologi (ilmu keturunan) menyatakan bahwa sebaiknya calon pengantin memeriksakan dirinya tiga bulan sebelum melakukan janji pernikahan. Rentang waktu itu diperlukan untuk melakukan pengobatan jika ternyata salah seorang atau keduanya menderita gangguan tertentu. Jenis pemeriksaan kesehatan pranikah dapat disesuaikan dengan gejala tertentu yang dialami calon pengantin secara jujur, berani dan objektif. Misalnya, pemeriksaan harus dilakukan lebih spesifik jika dalam keluarga didapati riwayat kesehatan yang kurang baik. Namun, jika semuanya lancar-lancar saja, maka hanya dilakukan pemeriksaan standar, yaitu cek darah dan urine.
Untuk cek darah, biasanya diperlukan khususnya untuk memastikan si calon ibu tidak mengalami talasemia, infeksi pada darah dan sebagainya. Dalam pengalaman medis, kadang kala ditemukan gejala anti phospholipid syndrome (APS), yaitu suatu kelainan pada darah yang bisa mengakibatkan sulitnya menjaga kehamilan atau menyebabkan keguguran berulang. Jika ada kasus seperti itu, biasanya para dokter akan melakukan tindakan tertentu sebagai langkah , sehingga pada saat pengantin perempuan hamil dia dapat mempertahankan bayinya.
Hasil analisa data medis mengungkapkan bahwa kasus yang paling banyak terjadi pada calon ibu khususnya di Indonesia adalah terjangkitnya virus toksoplasma. Virus yang bisa mengakibatkan kecacatan pada bayi ini biasanya disebabkan seringnya kaum perempuan mengkonsumsi daging yang kurang matang atau tersebar melalui kotoran atau bulu binatang piaraan. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya, agar dapat ditangani Secara dini diperlukan pemeriksaan toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, dan herpes yaitu yang sering disingkat dengan istilah pemeriksaan terhadap TORCH.
Demikian pula, pada calon pengantin pria biasanya diperlukan untuk dilakukan pemeriksaan sejumlah infeksi seperti sipilis dan gonorrhea. Selain itu banyak juga dari pengalaman klinis dilakukan pemeriksaan sperma untuk memastikan kesuburan untuk calon mempelai pria. Dalam kapasitas ini, pemeriksaan sperma dilakukan dalam tiga kategori yaitu jumlah sperma, gerakan sperma dan bentuk sperma.
Sperma yang baik menurut para ahli, jumlahnya harus lebih dari 20 juta setiap cc-nya dengan gerakan lebih dari 50% dan memiliki bentuk normal lebih dari 30% . Bila dalam pemeriksaan ditemukan kelainan pada sperma, maka waktu tiga bulan setelah pemeriksaan dianggap sudah cukup untuk melakukan penyembuhan. Demikian halnya bagi calon mempelai wanita, jangka waktu tiga bulan juga dianggap memadai untuk memperbaiki siklus menstruasi calon pengantin wanita yang memiliki masa menstruasi tidak lancar dengan disiplin mengikuti terapi khusus dan intens secara kontinyu.
Pemeriksaan standar menyangkut darah antara lain dilakukan untuk mengetahui jenis resus. Seperti bangsa Asia lainnya, perempuan Indonesia memiliki resus darah positif. Sedangkan bangsa Eropa dan Kaukasia biasanya memiliki resus negatif. Karena itu, pemeriksaan resus untuk pasangan campuran yang berasal dari dua bangsa berbeda sangatlah penting. Resus berfungsi sama dengan sidik jari yaitu sebagai penentu. Setelah mengetahui golongan dara seseorang seperti A, B, O biasanya resusnya juga ditentukan untuk mempermudah identifikasi. Hal itu karena perbedaan resus pada pasangan bisa berdampak fatal saat kehamilan.
Jika ibu memiliki resus positif dan embrio menunjukkan resus negatif, maka biasanya disarankan para ahli medis untuk melakukan pengguguran sejak dini karena tidak mungkin janin akan bertahan hidup secara normal di dalam rahim ibu. Meskipun pasangan ingin tetap mempertahankan janin, nantinya akan gugur juga. Pengalaman ini biasanya di kalangan medis disebut sebagai kasus incompabilitas resus.
Calon pengantin juga sering diminta untuk melakukan pemeriksaan darah anticardiolipin antibody (ACA). Penyakit yang berkaitan dengan hal itu bisa mengakibatkan aliran darah mengental sehingga darah si ibu sulit mengirimkan makanan kepada janin yang berada di dalam rahimnya. Selain itu, jika salah satu calon pengantin memiliki catatan down syndrome karena kromosom dalam keluarganya, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih intensif lagi. Sebab, riwayat itu bisa mengakibatkan bayi lahir idiot.
Adapun suntikan Tetanus Toxoid yang lebih dikenal dengan suntikan TT sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah timbulnya tetanus pada luka yang dapat terjadi pada vagina mempelai wanita yang diakibatkan hubungan seksual pertama. Suntikan TT biasanya juga diperlukan dan dianjurkan oleh para medis bagi para ibu hamil di usia kehamilan 5-6 bulan untuk mencegah terjadinya tetanus pada luka ibu ataupun bayi saat proses kelahiran. Sedangkan kekhawatiran adanya manipulasi serum TT pada suntikan yang diganti dengan serum kontrasepsi oleh para medis sebaiknya dihilangkan dan jika terbukti adanya pengalaman sebelumnya atau indikasi kuat mal praktik yang disengaja tersebut, maka dapat dilaporkan para pihak terkait dan yang berwenang, dan hal itu di samping melanggar kode etik kedokteran, juga merupakan suatu tindak pidana.
Dalam proses pemilihan pasangan dan prosedur pernikahan, Islam di samping aspek keimanan dan keshalihan (hifdz din) juga sangat memperhatikan aspek keturunan serta aspek kesehatan fisik dan mental (hifdz nasl dan hifdz ‘aql). Hal itu dapat kita kaji dari hadits Rasulullah saw maupun ayat-ayat al-Qur’an seputar pernikahan.
Anjuran Nabi saw untuk melihat calon pasangan sebelum menikah merupakan ekspresi urgensi pemeriksaan dan observasi fisik oleh masing-masing calon mempelai dalam batas ketentuan syariah agar lebih dapat melestarikan hubungan dan kehidupan rumah tangga. (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan contoh alasan pemeriksaan dan observasi fisik tersebut adalah menurut catatan demografis terdapat kelainan mata pada sebagian mata kaum Anshar Madinah saat itu. (HR. Muslim)
Dalam sebuah riwayat tentang pelarangan Nabi terhadap pernikahan antar kerabat dekat apalagi yang diharamkan dalam surat an-Nisa:23 tentang mahram agar terhindar dari lahirnya keturunan yang lemah fisik dan akal di samping memelihara aspek psikologis dan pertimbangan hubungan sosial yang sehat, adalah merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap aspek genetik calon pasangan.
Selain itu, anjuran Nabi saw untuk memilih pasangan yang penuh kasih sayang (wadud) dan subur (walud) sebagaimana riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i dan al-Hakim merupakan bukti perhatian Islam terhadap aspek fertilitas, karena di antara hikmah pernikahan adalah melaksanakan ibadah dengan memperbanyak keturunan yang shalih.
Thariq Ismail Khahya dalam Az-Zawaj fil Islam, di samping menyatakan criteria kesehatan pada calon mempelai wanita, juga menekankan bahwa calon suami harus sehat jasmani dan rohani steril dari berbagai penyakit yang dapat menghalangi dan menganggu kebahagiaan pernikahan seperti gangguan kejiwaan, lepra, impotensi, dan penyakit lainnya yang dapat menular ataupun menurun. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa Umar bin Khathab pernah memutuskan bahwa seorang pengantin pria diberi kesempatan selam satu tahun untuk menyembuhkan impotensinya, dan jika setelah melewati setahun belum sembuh dan pengantin wanita menuntut cerai maka akan dikabulkan dan disetujui oleh pihak hakim. Hal ini merupakan indikasi pentingnya faktor keturunan dan kesuburan serta kesehatan seksual dalam pernikahan sehingga sangat diperlukan pemeriksaan.
Dengan demikian, berdasarkan data urgensi dan manfaat dari pemeriksaan kesehatan tersebut syariat Islam sangat menyambut anjuran agar calon pengantin melakukan pemeriksaan fertilitas dan tes kesehatan fisik maupun mental sekalipun serta tindakan imunisasi termasuk imunisasi TT pra menikah agar dapat diketahui lebih awal berbagai kendala dan kesulitan medis yang mungkin terjadi untuk diambil tindakan antisipasi yang semestinya sedini mungkin berdasarkan prinsip Sadd Adz-Dzari’ah (prinsip pengambilan langkah preventif) terhadap segala hal yang dapat membahayakan bagi panca maslahat tersebut di atas.
Sumber: dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar