My Family

My Family
Palembang, Mei 2013

Rabu, 06 Mei 2009

ANSIETAS PADA KLIEN FRAKTUR

Oleh: Ns.Lukman,SKep,MM
 

Kejadian fraktur merupakan suatu kejadian yang tidak dikehendaki oleh setiap orang, selain dapat mengganggu stabilitas kesehatan dapat juga menimbulkan kecacatan yang  berdampak pada resposn psikologis seperti cemas pada tahap awal dan pada tahap lanjut dapat mengakibatkan perubahan konsep diri. Hasil survey tim depkes RI (1999) mendapatkan adanya respon psikolgis yang bervariatif yang dialami pendertia fraktur yang mana sebagian besarnya mengalami respon cemas dari cemas ringan sampai berat, kondisi cemas pada pasien fraktur mempengaruhi koopertaifan mereka dalam proses tatalaksana fraktur itu sendiri oleh karenanya penting dilakukan support system kepada pasien fraktur agar terbentuk mekanisme koping yang baik, melalui pemberian motivasi kepada pasien mengenai : 1) mencoba merasa optimis mengenai masa depan, 2) menggunakan dukungan sosial, 3) menggunakan sumber spiritual, 4) mencoba tetap tetap mengontrol situasi dan perasaan, 5) mencoba menerima kenyataan yang ada (Depkes RI, 2003).

 

Respon cemas (ansietas) adalah reaksi normal terhadap ancaman stress dan bahaya. Ansietas merpakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya, baik yang  nyata maupun yang dibayangkan. respon cemas merupakan reaksi umum yang terjadi  terhadap perubahan status kesehatan yang dirasakan sebagai ancaman: ancaman umum terhadap kehidupan, kesehatan dan keutuhan tubuh, pemajanan dan rasa malu, ketidaknyaman akibat nyeri dan keterbatasan gerak.

 

Pada pasien yang mengalami ansietas akibat fraktur manisfestasi yang muncul dapat beraneka ragam dapat meliputi menarik diri, membisu, hiperaktif,  berbicara atau bercanda secara berlebihan, menyerang dengan kata-kata atau fisik, berkhayal, mengeluh dan menangis. Cara khusus dalam mengatasi ansietas baik yang berhasil maupun tidak, sangat tergantung pada individu maupun hasilnya. Respon cemas pasien fraktur dilihat dari karakterisrik: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

 

Umur, umur dapat diartikan sebagai selisih antar hari kelahiran dengan ulang tahun terakhir seseorang (Balai Pustaka, 2000). Umur menunjukan ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Umur berkorelasi dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan pengetahuan, pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit atau kejadian sehingga akan membentuk persepsi dan sikap. Kematangan dalam proses berpikir pada individu yang berumur dewasa lebih memungkinkannya untuk menggunakan mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok umur anak-anak, ditemukan sebagian besar kelompok umur anak yang mengalami insiden fraktur cenderung lebih mengalami respon cemas yang berat dibandingkan kelompok umur dewasa (Hariyanto, 2002).

Penelitian yang dilakukan Molby (1998) memperlihatkan adanya hubungan umur terhadap kecemasan pasien fraktur, pasien yang dikategorikan dewasa lanjut lebih dapat merespon kejadian fraktur dengan koping individu yang baik dibandingkan kelompok umur dibawahnya. 

 

Jenis Kelamin, jenis kelamin dapat diartikan sebagai karakteristik  biologis yang menujukan identitas manusia yang meliputi laki-laki dan perempuan (Balai Pustaka, 2000). jenis kelamin memilki hubungan dalam terbentuknya respon cemas dan penggunaan mekanisme koping individu yang baik. Hasil pengamatan tim psikologis independen program kajian psikolgis Universitas Undonesia mendapatkan 56,41 % individu perempuan cenderung lebih berespon cemas terhadap   kejadian fraktur dibadingkan individu laki-laki.

 

Suryanti (2005) mengatakan individu perempuan cenderung berkeskploratif terhadap apa yang ada pada dirinya, sedikit perubahan pada  dirinya akan mempengaruhi respon psikologis  dan mekanisme koping mereka dibandingkan individu laki-laki, termasuk terhadap kejadian fraktur yang merupakan salah satu kejadian yang dapat mempengaruhi keadaan tubuh dan kesehatan.

Tingkat Pendidikan, tingkat pendidikan dapat diartikan sebagai jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh seorang individu (Balai Pustaka, 2000) tingkat pendidikan tidak memilliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan respon cemas atau pembentukan koping individu yang maladatif. Riset yang dilakukan Stuarth and Sundden (1999) menunjukan responden yang berpendidikan tinggi lebih mampu menggunakan pemahaman mereka dalam merespon kejadian fraktur secara adaptif dibandingkan kelompok responden yang berpendidikan rendah. Kondisi ini menunjukan  respon cemas berat cenderung dapat kita temukan pada responden yang berpendidikan rendah karena rendahnya pemahanan mereka terhadap kejadian fraktur sehingga membentuk persepsi yang menakutkan bagi mereka dalam merespon kejadian fraktur.

 

Pekerjaan, pekerjaan dapat diartikan sebagai aktivitas rutin yang dilakukan  seorang individu di suatu tempat dan pada waktu tertentu baik dilakukan secara individu maupun tim (Balai Pustaka, 2000).fraktur memimiliki korelasi terhadap kejadian cemas pada pasien yang mengalami fraktur hasil ini didapatkan pada temuan Jaringan Psikiatrik Indonesia (2002) yang melakukan serangkaian identifikasi dan evaluasi pola penggunaan koping yang efektif pada pasien – pasien yang mengalami insiden kecelakaan, dari hasil identifikasi didapatkan respon cemas berat pasien yang mengalami fraktur banyak dialami oleh responden yang bekerja.

 

Haryanto (2004) mengatakan perubahan pada  diri seorang individu akan mempengaruhi interaksinya dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan pekerjaan dan orang-orang yang terikat pekerjaan di suatu tempat kerja cenderung akan mengalami perubahan koping kearah yang maladatif ketika mengalami perubahan pada status kesehatannya termasuk salah satunya kejadian fraktur yang mana tersebut dimungkinan adanya pemahaman dari sebagai besar individu tersebut dengan adanya perubahan yang terjadi dalam dirinya akan mengganggu aktivitas, produktifitas dan interksinya di lingkungan sosial.

 

 

Tidak ada komentar: