Insiden kecelakaan merupakan salah satu dari lima masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Kelima masalah kesehatan utama tersebut adalah kecelakaan, penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit degeneratif dan gangguan gangguan jiwa (Depkes RI, 2007).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2007 didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda, dari hasil survey tim depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45 mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas dan bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik.
Sementara itu, berdasarkan data dari dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2007 didapatkan sekitar 2700 orang mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur (Dinkes Pemrov Sumsel, 2008). Dan pada tahun yang sama di Rumah Sakit Umum Kota Prabumulih Sumatera Selatan, tercatat terdapat 676 kasus fraktur dengan rincian 86,2% fraktur jenis terbuka dan 13,8% fraktur jenis tertutup. 68,14% jenis fraktur tersebut adalah fraktur ektremitas bawah (Medikal Record RSUD Kota Prabumulih, 2008).
Insiden fraktur dapat diatasi dengan baik apabila dilakukan tindakan segera, kesembuhan pada penderita fraktur dipengaruhi oleh keadaan fraktur, pemenuhan nutrisi yang baik, adanya perawatan yang baik dan adannya kondisi psikologis yang baik dari penderita fraktur sendiri. Pada sebagian besar penderita fraktur ditemukan adannya respon cemas yang akhirnya berdampak kepada adanya perubahan konsep diri yang akan mempengaruhi proses perawatan, proses pemenuhan nutrisi karena sebagian besar penderita yang cemas kurang memiliki nafsu makan dan kurang responsive terhadap pengobatan yang akhirnya sangat mempengaruhi proses penyembuhan. Respon cemas yang terjadi pada individu yang mengalami fraktur dipengaruhi oleh karakteristik, yakni umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan (Bhecker, 2008).
Hasil survey tim kesehatan Depkes RI (2005) mendapatkan kelompok umur dibawah 30 tahun cenderung menunjukan respon cemas yang lebih berat dibandingkan kelompok umur diatasnya, biasanya pada kelompok umur > 30 tahun telah terbentuk mekanisme koping yang baik. Kelompok individu dengan jenis kelamin perempuan cenderung lebih cemas dibandingkan kelompok individu laki-laki, hal ini terkait dengan penampilan yang biasa lebih identik dengan individu perempuan adanya kejadian fraktur tentunya akan mempengaruhi konsep dirinya. Pada kelompok individu yang bekerja cenderung lebih cemas dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja, karena kondisi fraktur tentunya akan mempengaruhi aktivitas pekerjaannya.
Penderita fraktur dengan tingkat pendidikan rendah cenderung menunjukan adanya respon cemas yang berlebihan menggingat keterbatasan mereka dalam memahami proses penyembuhan dari kondisi fraktur yang dialaminya tetapi sebagian besar penelitian tidak menunjukan adanya korelasi kuat antara tingkat pendidikan dengan kecemasan penderita fraktur. Respon cemas yang terjadi pada penderita fraktur sangat berkaitan sekali dengan mekanisme koping yang dimilikinya, mekanisme koping yang baik akan membentuk respon psikologis yang baik, respon psikologis yang baik yang berperan dalam menunjang proses kesembuhan (Depkes RI, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar